Pacaran tidak lepas dari tindakan menerjang
larangan larangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Fitnah ini bermula dari pandang memandang
dengan lawan jenis kemudian timbul rasa cinta di
hati—sebab itu, ada istilah “dari mata turun ke
hati”— kemudian berusaha ingin memilikinya,
entah itu dengan cara kirim SMS atau surat cinta,
telepon, atau yang lainnya. Setelah itu, terjadilah
saling bertemu dan bertatap muka, menyepi, dan
saling bersentuhan sambil mengungkapkan rasa
cinta dan sayang. Semua perbuatan tersebut
dilarangdalam Islam karena merupakan
jembatan dan sarana menuju perbuatan yang
lebih keji, yaitu zina. Bahkan, boleh dikatakan,
perbuatan itu seluruhnya tidak lepas dari zina.
Perhatikanlah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam:
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina,
akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua
mata itu berzina, zinanya dengan memandang.
Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan
mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan
berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan
memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan
melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan
beranganangan sedangkan kemaluan yang
membenarkan itu semua atau mendustakannya.”
(H.R. Muslim: 2657, alBukhori: 6243)
Al Imam an Nawawi rahimahullah berkata:
“Makna hadits di atas, pada anak Adam itu
ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka
ada yang melakukan zina secara hakiki dengan
memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji
yang haram. Ada yang zinanya secara majazi
(kiasan) dengan memandang wanita yang haram,
mendengar perbuatan zina dan perkara yang
mengantarkan kepada zina, atau dengan
sentuhan tangan di mana tangannya meraba
wanita yang bukan mahromnya atau
menciumnya, atau kakinya melangkah untuk
menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau
menyentuh wanita yang bukan mahromnya,
atau melakukan pembicaraan yang haram
dengan wanita yang bukan mahromnya dan
semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya.
Semuanya ini termasuk zina secara
majazi.” (Syarah Shohih Muslim: 16/156157)
Adakah di antara mereka tatkala berpacaran dapat
menjaga pandangan mata mereka dari melihat
yang haram sedangkan memandang wanita
ajnabiyyah (bukan mahrom) atau laki-laki ajnabi
(bukan mahrom) termasuk perbuatan yang
diharamkan?!
Ta’aruf Dengan Pacaran, Bolehkah?
Banyak orang awam beranggapan bahwa
pacaran adalah wasilah (sarana) untuk berta’aruf
(berkenalan). Kata mereka, dengan berpacaran
akan diketahui jati diri kedua ‘calon mempelai’
supaya nanti jika sudah menikah tidak kaget lagi
dengan sikap keduanya dan bisa saling
memahami karakter masing-masing. Demi Allah,
tidaklah anggapan ini dilontarkan melainkan oleh
orang-orang yang terbawa arus budaya Barat
dan hatinya sudah terjangkiti bisikan setan.
Tidakkah mereka menyadari bahwa yang
namanya pacaran tentu tidak terlepas dari
kholwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan
ikhtilath (lakilaki dan perempuan bercampur baur
tanpa ada hijab/tabir penghalang)?! Padahal
semua itu telah dilarang dalam Islam.
Perhatikanlah tentang larangan tersebut
sebagaimana tertuang dalam sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam:
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki
bersepi-sepi dengan seorang wanita
kecuali wanita itu bersama
mahromnya.”(H.R. alBukhori: 1862, Muslim:
1338)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah
berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa larangan
bercampur baur dengan wanita yang bukan
mahrom adalah ijma’ (kesepakatan) para
ulama.” (Fathul Bari: 4/100)
Oleh karena itu, kendati telah resmi melamar
seorang wanita, seorang laki-laki tetap harus
menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan
diterima pinangannya itu tidak berarti ia bisa
bebas berbicara dan bercanda dengan wanita
yang akan diperistrinya, bebas surat menyurat,
bebas bertelepon, bebas berSMS, bebas chatting,
atau bercakap-cakap apa saja dengan wanita tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar